Datangnya Agama Islam di Pulau Jawa bertepatan
masih jayanya Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Raja Hayamwuruk
Rajasanegara atau Brawijaya ke-IV dengan patihnya yang bernama Gajah Mada. Saat
itu raja merupakan juga pemimpin, karena itu sejalan dengan kemasyhuran
Hayamwuruk dan Gajah Mada yang beragama Budha, agama Budha pun menjadi kuat
perkembangannya dalam masyarakat. Saat seperti itu Agama Islam bagi Rakyat masih merupakan agama pendatang baru
yang dibawa para pedagang dari Gujarat di India dan pedagang Cina yang datang
melalui Campa. Agama Islam masuk Madura.
Dalam fakta yang ada dalam historiografi masuknya
Agama Islam ke Madura sangat sulit ditemukan namun data dari sumber tradisi
lisan yang hampir selalu digali melalui wawancara. Dengan demikian sentesis
dilakukan dengan mengusut dan menarik hubungan intrinsik atas fakta berdasarkan
teori kecocokan.
Di antaranya yang memerintah di Madura (Pamadekan, Sampang)
yaitu yang bernama Bondan Kejawan atau Lembu Petteng. Walaupun disebut-sebut
bahwa Lembu Petteng beragama Islam, namun putera-puteranya tak seorangpun yang
menganut Agama Islam, putera-putera Lembu Petteng tersebuut cenderung mentaati
keinginan ibunya yang masih beragama Budha. Karena itulah kemudian Lembu
Petteng meninggalkan posnya di Madekan pergi ke Ampel untuk mengabdi kepada
Sunan Ampel.
Dari Lembu Petteng inilah keturunannya menyebar
kedaerah Madura Barat yang kemudian dikenal sebagai Raden Pratanu raja di
Arosbaya dan Ronggosukowati raja Pamekasan. Beberapa data dari sumber tradisi
lisan dan tulis tentang masuknya Agama Islam ke Madura dapat disebutkan antara lain:
Disebutkan bahwa keponakan Lembu Petteng yang
bernama Aryo Menaksunoyo, putera dari Ki Aryo Damar membuka daerah baru yang
saat ini kita kenali bernama Proppo. Di kemudian hari dua keluarga bersaudara
seayah tersebut (Lembu Petteng dan Aryo Damar) bersatu dalam pernikahan dari
keturunan mereka. Ki Aryo Pojok
keturunan ke-4 dari Aryo Damar di
Madura menikah dengan Nyi Ageng Budho puteri Aryo Pratikel atau cicit
dari Lembu Petteng. Dari pernikahan ini lahir seorang putera yang kemudian
menjadi demang di Plakaran (Daerah barat laut dari Pamadekan), karena itu
beliau disebut Ki Demang Plakaran. Ki Demang Plakaran ini mempunyai
putera diantaranya ada yang bernama Aryo Pragolbo yang disebut juga Pangeran
Plakaran dan diantara putera Pragolbo ada yang bernama Raden Pratanu
dan Raden Pramono. Raden Pratanu kemudian menjadi raja di Arosbaya dan Raden Pramono kemudian menikah dengan Nyi
Banu Ratu Pamelingan puteri dari Ki Aryo Mengo. Dari perkawinan ini lahirlah
seorang laki-laki yang diberi nama Pangeran Nugeroho yang kemudian
menjadi raja Pamelingan. Beliau mempunyai beberapa orang putera dan puteri
salah seorang puteranya diangkat menjadi adipati di Pamadekan. Puteranya yang
lain bernama Raden Aryo Seno oleh kakandanya, adipati Pamadekan diangkat
menjadi rangga, karenanya Raden Arya Sena lalu dikenal bernama Pangeran
Rangga yang kemudian menjadi raja di Pamelingan dan bergelar Ronggosukowati.
Dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, HJ.De Graaf & TH.Pegeaud menulis antara lain tentang
Madura sebagai berikut :
“ Adanya hubungan dengan jatuhnya kerajaan kafir
Majapahit lalu menjadi lebih masuk akal, apabila cerita tutur Madura Barat
tentang masuk Islamnya raja Islam pertama benar. Karena mimpi putera mahkota,
seorang patih Madura bernama Empu Bagna diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui
seluk-beluk keadaan di sana. Ia menyerah kepada Sunan Kudus untuk diislamkan
dan sekembalinya di Madura Barat ia dapat menggerakkan hati tuannya sang putera
mahkota, untuk berbuat demikian pula ”
Di buku lain, buku R. Zainal Fatah, tulisan yang
berkaitan dengan masuknya Agama Islam ke Madura, beliau menulis sebagai berikut
:
“ … yaitu Kiyai Pratanu, beliau sangat dicintai
oleh ayah-bundanya. Beliau diperkenankan
mendirikan sebuah rumah di tanah ayah-bundanya dengan didiami sendiri.
Pada suatu malam beliau bermimpi mendapat tamu seorang asing yang mengaku
dirinya bernama Sayyid Magrabi menyuruh kepada beliau supaya beliau memeluk
Agama baharu yaitu Islam sedang guru yang dapat memberi pelajaran itu agama ialah
Sunan Kudus “
Raden Zainal Fatah dalam bukunya sebagai berikut :
“ Di jaman Kudho Panule diceritakan bahwa di suatu
daerah di dekat desa Sumursongo (Parsanga) di Sumenep ada datang seorang
penganjur agama Islam kepada rakyat di Sumenep. Apabila seorang murid (santri)
telah dapat dianggap melakukan rukun Agama Islam, maka ia lalu diberi mandi air
dengan dicampuri rupa-rupa bunga yang harum baunya. Melakukan secara mandi
demikian oleh orang Madura di namai êdhudhus
artinya diberi adus artinya diberi mandi. Dari sebab itu maka
itu tempat disebut orang Desa Padhusan. yang sekarang menjadi nama
kampung di desa Pamoloan, Kota Sumenep, Guru yang memberi pelajaran agama itu
lalu disebut juga Sunan Padhusan, ia asal turunan Arab, akan tetapi telah
memakai nama Jawa yaitu Raden Bandara Diwiryopodho. Ia punya ayah bernama Usman
Haji anak dari Raja Pandita alias Sunan Lembayung Fadal yaitu anak dari Makdum
Ibrahim Hasmoro yang disebut orang Maulana Jamadul Akbar‘ Ini orang beristri
seorang putri Cina yaitu saudara muda puteri Cempa permisuri raja Majapahit
yang penghabisan”.
Dalam cerita tutur yang lain, Diwiryopodo, bernama Pangeran Katandur, ada juga yang
menyebut Pangeran Satandur. Katandur sendiri bermakna ahli pertanian, memang kedatangan Pangeran Katandur tersebut sebagai orang yang mengerti ilmu
pertanian ingin membantu rakyat Sumenep dalam bercocok tanam. Saat itu Sumenep
mengalami kemarau panjang sawah tidak menghasilkan padi, karena sawah tidak
berair lagi. Namun Pangeran Katandur mengajari para petani bertanam tanaman
pangan dari jenis bukan padi seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Selain
itu Pangeran Katandur memikul tugas dari kakeknya untuk menyebarkan Agama Islam
kepada masyarakat Sumenep. Sebenarnyalah Pangeran Katandur itu cucu dari Sunan Kudus nama aslinya adalah Sayyid Ahmad Baidowi yang meninggal di Sumenep yang di
nisannya tertulis angka tahun Saka 1248 S atau 1412 M.
Di
daerah kecamatan Proppo juga ada legende yang hidup dalam masyarakat, yaitu
legende Buju’ (Buyut) Kasambhi. Buju’ Kasambhi ini nama aslinya adalah Kiai
Abdulmanan beliau seorang mubaligh Agama Islam yang datang dari Giri,
Gresik ke Madura, masih satu marga dengan Syeh Sayid Yusuf yang
kuburannya dikeramatkan orang di Pulau Puteran, yang letaknya berhadapan dengan
Pelabuhan Kalianget di Kabupaten Sumenep yaitu marga Al-Anggawi. Mula-mula
beliau berdakwah di daerah Sampang di (desa?) Salarom (daerah kecamatan Omben),
kemudian pindah ke Bira di pesisir utara Sampang (Ketapang) di situ Sang
Mubaligh menikah dengan orang setempat dan berputera seorang yang kemudian oleh
masyarakat setempat putera tersebut
dikenal sebagai Buju’ Birâ.
Dari Bira Kiai Abdulmanan pindah lagi ke Kampung Kobasan di desa Pangbhâtok kecamatan Proppo kabupaten
Pamekasan.
Bila
kita teliti kisah atau legende-legende tersebut di atas, sesungguhnya merupakan
kisah masuknya serta pengembangan Agama Islam di Madura. Sebenarnya sangat
banyak tempat pengembangan tersebut di seluruh Madura hal tersebut kini bisa
terlihat banyaknya pesantren di seluruh Madura yang penulis tidak menyebutkan
di sini nama-nama dan jumlah pesantren tersebut. Namun yang jelas menurut hasil
penelitian DR. H. Moh. Kosim, M.Ag dari STAIN Pamekasan di Pamekasan tahun 1515
sudah ada pesantren yaitu Pesantren Sombher Anyar Tlanakan yang dipimpin oleh
Kiai Syuber dan beliau juga mengajar keluarga Kraton Pamelingan karena itu
beliau disebut Kèyaè Rato. Pesantren Somber Anyar hingga saat ini masih
berjaya. Dengan demikian diperkirakan pada perempat abad terakhir ke-16 Islam
sudah tersebar di Madura, hal ini untuk mendirikan sebuah pesantren di suatu
tempat yang semula masyarakatnya penganut Budha tentu memerlukan waktu yang
cukup lama, lebih dari itu dalam catatan Madura daerah Pamekasan penduduknya
paling akhir memeluk Agama Islam
dibandingkan dengan daerah lainnya di Madura. Katakanlah berdasar dari berbagai
kutipan tersebut di atas ditambah dengan adanya legenda yang merakyat
tentang Kiai Abdulmanan dari Giri, maka
kita bisa memahami bahwa Islam masuk Madura pada jaman Sunan Kudus dan jaman
Sunan Giri, sekaligus bisa kita menganggap bahwa sejak jaman walisanga Islam
sudah masuk ke Madura.
Pada
tahun 1530 Panembahan Banurogo wafat dan Raden Aryo Sena alias Pangeran Rangga menggantikannya.
Pelantikan Pangeran Ronggo dilaksananakan pada tanggal 12 Rabiul Awal 937 H
atau pada tanggal 3 Nopember 1530. Beliau dilantik oleh Ulama spiritual
kerajaan bernama Kiai Tasyrib. Setelah
pelantikan beliau bergelar Panembahan Ronggosukowati. Dengan demikian sebutan Rangga masih
beliau pakai lebih dari itu masyarakat
di Pamadekan masih menyebut beliau Pangeran Rangga.
Pada
jaman Ronggosukowati pusat kerajaan yaitu kraton dipindah ke bagian barat kraton Pamelingan, beliau membuat
kraton baru yang diberi nama Kraton Mandhilaras, Mandhilaras bermakna kedamaian
dan kemulyaan. Sedangkan kerajaan Pamelingan dengan nama
Pamekasan. Lokasi kraton Mandhilaras saat ini ialah di lokasi Kantor Bakorwil
Madura yang diapit oleh jalan Slamet Riadi di selatan, jalan Agussalim di
bagian Timur dan di utara jalan Pongkoran. Sedangkan di sisi barat adalah
perkampungan, yaitu Kampung Pongkoran dan Kampung Gheddhungan. Sedangkan
Jalan Mandhilaras sendiri sebenarnya hanya
merupakan cabang dari Jalan Pongkoran Pada saat pemerintahan
Ronggosukowati, pemerintahannya dinilai sudah memenuhi syarat sebagai sebuah
pemerintahan dari sebuah Negara. Kerajaan Pamekasan telah tersusun dari
berbagai kebutuhan bagi kepentingan sebuah pemerintahan seperti adanya asrama
tentara / prajurit yang masa sebelumnya prajurit dikumpulkan hanya bilamana ada
perang. Pasar juga di adakan untuk mendukung perekonomian rakyatnya walaupun
saat itu masih lebih banyak dilakukan system barter. Selain pasar, penjara yang
lebih manusiawi (dibangun di atas permukaan tanah yang sebelumnya di bawah tanah)
dibangun, saat ini lokasinya di komplek Perpustakaan Umum Kota Pamekasan.
Tempat beribadah juga dibangun sesuai dengan Agama yang dianut Raja
Ronggosukowati yaitu Islam, maka beliau membangun sebuah mesjid yang dinamakan Masèghit Rato, yang terletak di tepi
sungai tidak jauh dari kraton Mandilaras. Tempat dekat sungai sangat tepat
karena masjid harus dibangun dekat air
yang kepentingannya diperlukan terus-menerus karena sebelum sholat diharuskahn
berwudlu / bersuci. Masèghit Rato (Masjid Raja) diperkirakan sama bahan
pembuatannya dengan masjid Sunan Giri yang mula-mula yaitu terbuat dari kayu
dan beratap rumbia. Masjid-masjid seperti itu terus di bangun di
daerah kekuasaannya yang saat ini Masèghit
Rato telah menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’ setelah pembangunan masjid dilakukan dengan
tipe bangunan besar, masjid dari kayu beratap rumbia tersebut lalu disebutnya
langgar / langghâr hingga saat ini sangat banyak di Madura di
tempat yang berbeda di Madura sering disebut kobhung.
1 komentar:
Itu keliru kalau pragalbo dikatakan orangtua pramono, pramono adalah saudara pragalbo
Posting Komentar