“Guru diguguh dan ditiru” kata-kata
ini tidak lagi asing ditelinga kita, kata ini mengajarkan anak-anak kita untuk
selalu patuh dan taat kepada guru dan menjadikan mereka sebagai teladan atau
cermin dalam menatap masa depan dan menata kehidupan utamanya dalam hal
perilaku sosial. Guru adalah
salah seorang yang sangat luar biasa, tangguh, semangat, bijaksana, sabar dalam
memberikan atau menularkan ilmunya sampai ilmu yang disampaikan benar-benar
dapat diterima dan dipahami, tidak sedikit halangan atau cobaan yang dihadapi
dalam transformasi keilmuan, namun mereka tetap dalam titik pengabdian. Tidak
sedikit guru-guru kita zaman dahulu, hanya demi mempertahankan kebenaran mereka
rela keluar masuk penjara karena tidak sehati dengan penguasa.
Sang guru adalah teladan, diguguh
dan ditiru, berani berkata sesuai fakta. قُلِ الْحَقَّ وَلَوْ كَانَ مُرًّا “katakanlah kebenaran sekalipun pahit untu
diucapkan”. Hadits ini merupakan sifat yang tidak dapat terpisahkan bagi kehidupan
seorang guru, demi kebenaran jalan-jalan terjal tidak menjadi hambatan, demi
kebenaran sekalipun nyawa harus melayang mereka tetap dibaris depan
menyampaikan amanat-amanat suci kehidupan dengan sepenuh hati tanpa balas budi,
hanya rida dari sang empunya ilmu yang dinanti. Demi ilmu mereka rela
berkorban, mengorbankan jiwa dan raga, tak hayal dalam terik matahari, mereka
terus menapaki jalan setapak, dinginnya malam tidak mengerutkan hati mereka
untuk menurehkan kata-kata demi masa depan anak bangsa. Mereka bukanlah seorang
konglomerat dengan kemewahan luar biasa, mereka hanyalah seorang guru dalam
gubuk sederhana yang hanya beralaskan tikar seadanya.
Imam al-ghazali adalah
maha guru bagi kaum muslim yang telah dikenal dengan sang hujjatul islam,
karena sumbangsih keilmuannya yang luar biasa dalam tatanan kehidupan islam. Beliau adalah sang
guru yang tak jarang hidup dalam lapar dan dahaga, hidup seadanya, makan apa
adanya, namun tetap dalam keilmuannya demi tatan kehidupan bangsa. Lain
al-ghazali lain pula dengan Sidarta Gautama, anak dari keturunan raja yang
semasa mudanya hidup dalam kemegahan tanpa kekurangan, namu setelah branjak
dewasa ia memutuskan untuk mengembara meninggalkan kemegahan mencari ketenangan
yang kemudian dinobatkan sebagai sang budha. Kesederhanaan, keikhlasannya dalam
menyampaikan ilmu-ilmu kehidupan membawanya menjadi seorang guru suci yang
dihormati dan ditati. Mereka tiada lain adalah sang guru yang patut diguguh dan
ditiru. Mereka adalah Pahlawan Tanpa Jasa.
Perkembangan tehnologi
yang takdapat dihindari menimbulkan evolusi kehidupan, tuntutan-tuntutan
kehidupanpun tidak jarang dilayangkan dibangku-bangku kekuasaan menuntut
kebijaksanaan, jalan-jalan sering dihiasi oleh ratusan bahkan ribuan penadah
kebijakan meminta kesetaraan dalam kehidupan, tidak lain didalamnya adalah para
guru yang menuntut agar pemerintah mengangkat mereka menjadi PNS. Sejarah mencatat,
pada tanggal 10 Februari 2016 di Indonesia sekitar 15 ribu guru bak semut-semut
yang mengerogoti gula di istana negara, mereka menuntut hak mereka pada negara
(menaruh pundak pada negara) dan meninggalkankewajiban mereka untuk mengajar
para siswa. Tidak sedikit sekolah yang siswanya terlantar ditinggal sang guru untuk berdemo hingga
prasangka buruk atas pemerintah diekpresikan dalam lantunan ayat-ayat suci
al-quran dan dzikir (tahlilan dan baca yasin bersama). ‘’Guru diguguh dan
ditiru’’ kenyataan tidak dapat dipungkiri, sang guru yang tangguh, semangat,
bijaksana, sabar dan ikhlas luntur karena hujan.
Guru mengajari murid ‘’Tunaikan
Kewajibanmu, Maka Hakmu Akan Terpenuhi’’ ‘’Berdoalah Untuk Kebaikan Orang Lain,
Jangan Berdoa Untuk Keburukan Orang Lain’’ ‘’Berbaik Sangkalah Kepada Orang
Lain, Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang Lain’’. Semuanya bak pamflet
yang terbuang karena expride, hanya karena pangkat dan jabatan. Mereka para
guru menuntut/berdemo diistana negara untuk segera diangkat sebagai PNS, mereka
bahkan menyeru ‘’Kami Bukan Budak” Lantas siapakah mereka...?
bukankah guru adalah abdi atau hamba (Budak dalam kata yang kasar) yang
ditugaskan untuk menyampaikan risalah kehidupan, بلِّغُوْ عَنِّيْ وَلَوْ اَيَةْ “sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” . ketika
sang guru sudah tidak lagi mengakui kapasitas dirinya secara hakiki, bagaimana bisa
mereka dapat menyampaikan risalah kehidupan dengan sepenuh hati, mereka
mengajar seakan bukan karena anamah, tapi karena status kepegawaian yang
dinanti. Jika sudah demikian, masih wajarkah kita untuk berkata “guru adalah
pahlawan tanpa jasa”.?
Allah berfirman dalam Surat al-Mujadalah ayat 11
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat diatas adalah janji
allah kepada setiap orang yang beriman dan juga bagi orang yang mengamalkan
ilmunya, bahwa mereka akan diangkat derajat mereka didunia dan diakhirat. Namun
perlu direnungkan bersama tatkala sudah sekian tahun mengabdi (para guru)
kenapa masih saja tetap dalam tangga dasar kehidupan...?
Allah menjawab dalam firmannya:
وان ليس لانسان الاما سعى
“apa yang didapat oleh manusia tiada lain adalah apa yang mereka
usahakan ”
Allah juga berfirman dalam surat AL-Amfal:53
ذَلِكَ بِأَنَّ
اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian
(siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah
sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum
itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Bukankah sudah jelas dalam kompas
kehidupan, hukum kausalitas tidak pernah lari dan akan terus sesuai dengan
usaha masing-masing insan. Masihkah mereka bergeming (minta gaji dinaikkan,
pangkat dinaikkan yang semuanya tiada lain dibayar dari hasil pendapatan negara
utamanya pajak daerah, namun disaat BBM dinaikkan, tidak sungkan mereka untuk
berkomentar sinis akan kebijakan) meminta kebijakan untuk ditetapkan pengangkatan,
dengan tanpa harus ada seleksi kelengkapan profesionalitas. Sungguh ironis
negeri ini, kuantitas lebih diutamakan daripada kulitas, namun disaat bencana
melanda negeri ini, pemerintah dijadikan kambing hitam.
Akhir kata dari penulis
untuk mereka para guru yangmenggerogoti istana negara. “Guru Bukanlah
Sang Pahlawan Tanpa Jasa” “Guru Adalah Pahlawan Minta Jasa”
Pamekasan, 23/25 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar