Minggu, 01 November 2020

Melangkah Pasti Di Penjara Suci

 
Mencetak generasi yang professional, religius, berdaya dan berbudaya, begitulah visi penjara suci dimana aku tinggal.

Entah sampai kapan aku akan terus berdiam didalamnya, waktu terus berputar cakrawala kian melebar, kotak berpikirku semakin sempit, kedunguanku semakin melejit.

Hamparan sejadah tidaklah cukup untuk dijadikan alas bertafakkur mengusik langit yang sedang sunyi, mengisi ruang-ruang kecil dalam kotak berpikir. Tangan terkepal harus terbuka lebar, jari-jemari harus lihai menelaah lembaran-lembaran bertuliskan sandi-sandi kehidupan.

Penjara suci, merupakan kata lain dari pondok pesantren tempat menimba ilmu, mengasah minat dan bakat guna menjadi generasi yang berdaya, memiliki keterampilan dalam mengatur kehidupan menjadi lebih baik, serta berbudaya, tahu diri siapa aku dan siapa dia, diaman aku dan harus bagaimana.

Pondok pesantren bukanlah sebatas tempat untuk mendidik santri menjadi seorang yang hafal atau bisa bertahlil saja, mengaji, ngitab. Pondok pesantren merupakan ladang subur, tempat beranika rasa, tempat beranika warna, tempat beranika karya.

Tiada gading yang tak retak, semua manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan, begitulah sang maha karya menciptakan kehidupan dengan penuh warna, supaya saling melengkapi kepada sesama. Kekurangan dan kelebihan manusia harus diterpa dan ditata guna menjadi pribadi-pribadi yang berdaya dan berbudaya.

Aku bukanlah manusia sempurna yang memilik segalanya, aku hanyalah manusia biasa yang tidak punya segalanya, namun aku ingin berusaha untuk menata diri, berdaya tanpa berbudaya tidaklah cukup, karena hanya akan membawa kehampaan dalam kehidupan.

Ditempat suci ini aku mengembara melanglang buana, belajar makna kehidupan yang sebenarnya belajar menjadi manusia seutuhnya. Disinilah aku berdiam mengisi kotak kosong dan rasa yang hampa dengan penuh warna, hari demi hari kuhabiskan untuk berlayar dan mendaki mencari secercah cahaya Ilahi. Rasa haru dan pilu pastilah berlalu dalam benakku, rasa rindu untuk bertemu bagaikan bayangan yang tak mau berlalu. Angin bersama ombak tak pernah berhenti melambai menghalau rasa merubah suasana, namun aku harus menyadari, semuanya hanyalah benang-benang peruangan.

Man Jadda Wajada (barang siapa bersungguh-sungguh, dia akan berhasil). Benang-benang perjuangan tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti melangkah, hidup penuh pilihan, akupun bertekad untuk berjalan memilih menjadi manusia yang melangkah pasti dengan penuh arti.

Banyak orang beralasan, saya tidak bisa karena saya tidak punya biaya, saya tidak mampu, padahal belum mencoba, saya tidak kuat, padahal belum melangkah. Jika alasa-alasan itu aku letakkan dikotak pikiranku, sudah pasti aku tidak dapat mengembara melanglang buana belajar makna kehidupan yang sebenarnya.

Aku berjalan dengan penuh kesederhanaan belajar makna kehidupan, karena aku sadar aku memang manusia yang terlahir dari keluarga yang tak berdaya. Namu aku yakin orang tuaku berbudaya. Annisa` ayat 100 merupakan jimat perjalanan hidupku dalam mengembara menelusuri tebing terjalnya kehidupan. Dalam ayat itu berbunyi ;

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Dalam kesederhanaanku, aku harus yakin bahwa aku harus berjalan melangkah pasti. Ayat ini menjadi sandaran dalam perjalananku, aku mengembara melanglang buana karena Lillah, disaat kotak pikiranku tertutup rapat, akupun berteduh meratap dan menatap titik kehidupan, menagih janji-janji kehidupan yang tertuang dalam al-quran.

Dalam kesungguhan tiada aral yang melintang, hanya butuh kesabaran dan ketabahan dalam menjalani kehidupan.

 Pamekasan, 1/11/2020_Sang Pengembara Kedamaian

Tidak ada komentar: