Entah sampai kapan aku akan terus berdiam didalamnya, waktu
terus berputar cakrawala kian melebar, kotak berpikirku semakin sempit, kedunguanku
semakin melejit.
Hamparan sejadah tidaklah cukup untuk dijadikan alas
bertafakkur mengusik langit yang sedang sunyi, mengisi ruang-ruang kecil dalam
kotak berpikir. Tangan terkepal harus terbuka lebar, jari-jemari harus lihai menelaah
lembaran-lembaran bertuliskan sandi-sandi kehidupan.
Penjara suci, merupakan kata lain dari pondok pesantren
tempat menimba ilmu, mengasah minat dan bakat guna menjadi generasi yang
berdaya, memiliki keterampilan dalam mengatur kehidupan menjadi lebih baik,
serta berbudaya, tahu diri siapa aku dan siapa dia, diaman aku dan harus
bagaimana.
Pondok pesantren bukanlah sebatas tempat untuk mendidik
santri menjadi seorang yang hafal atau bisa bertahlil saja, mengaji, ngitab. Pondok
pesantren merupakan ladang subur, tempat beranika rasa, tempat beranika warna,
tempat beranika karya.
Tiada gading yang tak retak, semua manusia mempunyai
kekurangan dan kelebihan, begitulah sang maha karya menciptakan kehidupan
dengan penuh warna, supaya saling melengkapi kepada sesama. Kekurangan dan
kelebihan manusia harus diterpa dan ditata guna menjadi pribadi-pribadi yang
berdaya dan berbudaya.
Aku bukanlah manusia sempurna yang memilik segalanya, aku
hanyalah manusia biasa yang tidak punya segalanya, namun aku ingin berusaha
untuk menata diri, berdaya tanpa berbudaya tidaklah cukup, karena hanya akan
membawa kehampaan dalam kehidupan.
Ditempat suci ini aku mengembara melanglang buana, belajar
makna kehidupan yang sebenarnya belajar menjadi manusia seutuhnya. Disinilah aku
berdiam mengisi kotak kosong dan rasa yang hampa dengan penuh warna, hari demi
hari kuhabiskan untuk berlayar dan mendaki mencari secercah cahaya Ilahi. Rasa haru
dan pilu pastilah berlalu dalam benakku, rasa rindu untuk bertemu bagaikan
bayangan yang tak mau berlalu. Angin bersama ombak tak pernah berhenti melambai
menghalau rasa merubah suasana, namun aku harus menyadari, semuanya hanyalah
benang-benang peruangan.
Man Jadda Wajada (barang siapa bersungguh-sungguh,
dia akan berhasil). Benang-benang perjuangan tidak boleh menjadi alasan untuk
berhenti melangkah, hidup penuh pilihan, akupun bertekad untuk berjalan memilih
menjadi manusia yang melangkah pasti dengan penuh arti.
Banyak orang beralasan, saya tidak bisa karena saya tidak
punya biaya, saya tidak mampu, padahal belum mencoba, saya tidak kuat, padahal
belum melangkah. Jika alasa-alasan itu aku letakkan dikotak pikiranku, sudah
pasti aku tidak dapat mengembara melanglang buana belajar makna kehidupan yang
sebenarnya.
Aku berjalan dengan penuh kesederhanaan belajar makna kehidupan,
karena aku sadar aku memang manusia yang terlahir dari keluarga yang tak
berdaya. Namu aku yakin orang tuaku berbudaya. Annisa` ayat 100 merupakan jimat
perjalanan hidupku dalam mengembara menelusuri tebing terjalnya kehidupan. Dalam
ayat itu berbunyi ;
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.
Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dalam kesederhanaanku, aku harus yakin bahwa aku harus
berjalan melangkah pasti. Ayat ini menjadi sandaran dalam perjalananku, aku
mengembara melanglang buana karena Lillah, disaat kotak pikiranku tertutup
rapat, akupun berteduh meratap dan menatap titik kehidupan, menagih janji-janji
kehidupan yang tertuang dalam al-quran.
Dalam kesungguhan tiada aral yang melintang, hanya butuh
kesabaran dan ketabahan dalam menjalani kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar