BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mempunyai
dua dasar dalam menetapkan suatu hukum, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Meskipun
demikian, dalam penetapan berdasarkan pada kedua hukum tersebut dirasa masih bersifat
umum dan masih sulit untuk difahami. Maka dari itu, muncullah kaidah-kaidah
tentang penetapan hukum dalam islam yang berdasarkan Al qur’an dan as-sunnah
dalam penetapannya, yaitu kaidah-kaidah fiqhiyyah yang digunakan sebagai
pedoman dalam menetapkan suatu hukum yang belum terdapat dalam Al Qur’an dan
As-Sunnah.
Seiring
perkembangan zaman, banyak muncul problema dalam kehidupan di masyarakat. Tanpa
adanya kaidah fiqhiyyah, tentu masyarakat akan kebingungan dalam memahami hukum
islam berbicara tentang problem-problem tersebut. Disinilah betapa pentingnya
peranan kaidah fiqhiyyah dalam menjawab berbagai problema yang berkembang di
kalangan masyarakat.
Untuk lebih
jelasnya tentang kaidah-kaidah fiqhiyyah tersebut, penulis akan menjelaskan
lebih lanjut tentang beberapa
kaidah:"اذااجتمع الحلا ل واحرام غلب
الحرام" dan الإِيْثَارُفِي الْقُرَبِ
مَكْرُوْهٌ، وَ فِي غَيْرِهاَ مَحْبُوْبٌ ".". bagaimana kaidah tersebut dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
B. Rumusan Masalah
2)
Makna Kaifdah
3)
Problımatıka
Kaıdah
C. Tujuan Penulisan
1) Unutk mengetahui Matan Kaıdah
2)
Untuk mengetahui
Makna Kaifdah
3)
Untuk mengetahui
Problimatika Kaıdah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Matan
Kaidah
1) Kidah Pertama"اذااجتمع الحلا ل واحرام غلب
الحرام"
2) Kaidah kedua " الإِيْثَارُفِي
الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ، وَ فِي غَيْرِهاَ مَحْبُوْبٌ "
B. Makna dan Landasan Kaidah
1). Kaidah yang pertama:" اذااجتمع
الحلال واحرام غلب الحرام " ini, mempunyai
arti sebagai berikut: ” apabila berkumpul antara yang halal dengan yang
haram maka dimenangkan oleh yang haram ” 1
الحرام
adalah segala sesuatu yang jelek, dan sebagian
darinya menjelekkan kepada sebagian yang lainnya.2
الحلال
adalah segala sesuatu yang baik, dansebagian
darinya menjadikan baik pada sebagian yang lain dan menjernihkan pada sebagian
yang lain.3
Kaidah ini tidak sebatas ucapan tampa
landing semata, namun kaidah ini berpijak pada sebauah hadits yang berbunyi:" مااجتمع عليه الحلال والحرام الاغلب الحرام " Yang artinya:
”Manakala berkumpul yang halal dan yang haram maka dimenangkan oleh yang haram”4
walupun hadits ini sanadnya dhoif, akan tetapi mempunyai kaidah yang benar
sesuai dengan perintah agama, yaitu untuk selalu memilih dalam segala apa yang
kita lekukan sebagai bentuk usaha kita (preventif) sebelum terjadi kerusakan
atau pelanggaran yang lebih besar.
1. Abdul Mujib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Hal 31
2. Al-ghazali. Ihyau `uklumuddin. Al-haramain. Hal 95
3. Ibid.
4. Abdul Mujib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Hal 31
2). Kaidah yang kedua:" الإِيْثَارُفِي الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ، وَ فِي غَيْرِهاَ
مَحْبُوْبٌ " mempunyai arti sebagai berikut: “Mendahulukan orang lain dalam masalah
ibadah, dibenci. Namun dalam masalah lainnya, disukai”
Itsar adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain
daripada dirinya sendiri. Kebalikannya adalah atsaroh yang bermakna
mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain. Dilihat dari
objeknya, Itsar ada dua macam:5
Itsar dalam perkara duniawi
Itsar dalam hal ibadah
Sedangkan ditinjau dari sifatnya Itsar ada tiga macam:6
1.
Haram
Yang dimakasud haram ialah mendahulukan sunnah sehingga
kewajiban kita menjadi gugur.
2.
Makruh dan
Yang dimakasud makruh dalam konteks ini ialah mendahulukan
sunnah sehingga kita mengerjakan yang makruh.
3.
Khilaful aula
Yang dimakasud khilaful aula ialah suatu tindakan yang
bersebrangan dengan adat atau kebiasaan yang ada.
Kaidah yang kedua ini berlandaskan pada
ayat al-quran dan beberapa hadits. Ayat al-quran yang menjadi landasan dari
kaidah ini ialah QS.
Al-Hasyr: 9 yang berbunyi; وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ
مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي
صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ
كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ “Dan
orang-orang yang telah menempati Kota
6. Abdul Mujib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Hal 55
Madinah
dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. (QS. Al-Hasyr: 9)7
Dan Hadits dari Umar, yang artinya: ”Dari Umar bin Khottob
radliyallahu’anhu berkata: ’Suatu hari Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kami untuk bershodaqoh, dan saat itu saya
memiliki harta. Saya pun bergumam: ’Hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakar,
saya akan sedekahkan separuh hartaku, ’Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda: ’Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?’
Umar radliyallahu’anhu menjawab: ’Separuhnya lagi’. Ternyata datanglah
Abu Bakar radliyallahu’anhu membawa semua hartanya, maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: ’Lalu apa yang engkau sisakan untuk
keluargamu’. Maka Abu Bakar menjawab: ’Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan
Rasul-Nya’” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Tahqiq
Misykah: 6021).8
Serta hadits dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu. Yang
artinya: “dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam seraya berkata: ’Wahai Rasulullah, saya sangat lemah’. Maka
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan kepada para istrinya,
ternyata tidak ada makanan apa pun di rumah. Maka beliau shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda: ’Tidak adakah seseorang yang mau menjamu tamu malam ini,
semoga Allah merahmatinya’. Maka salah satu sahabat anshor berkata: ’Saya wahai
Rasulullah’. Lalu dia pulang menemui istrinya dan
7. Depag RI. Al-qran dan terjemahannya, Al-jumanatul `ali. 547
berkata: ’Ini adalah tamunya rasulullah, jangan sembunyikan
makanan apapun’. Istrinya menjawab: ’Kita tidak punya makanan apapun kecuali
makanan untuk anak-anak’. Dia pun berkata: ’Jika anak-anak ingin makan malam,
maka tidurkanlah mereka, lalu matikan lampu dan malam ini biarlah kita lapar’.
Istrinya itu mengerjakan perintah suaminya. Keesokan harinya sahabat anshor
tadi datang kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda: ’Sesungguhnya Allah heran
(atau tertawa) terhadap perbuatan fulan dan fulanah’. Lalu Allah menurunkan
firman-Nya (yang di atas), QS. Al-Hasyr: 9” (HR. Bukhori).9
C. Problımatıka
Kaıdah
Kaidah pertama;
Pada kaidah yang pertama, mungkin saja menjadi sebuah penghalang bagi kita, kaidah
ini seakan-akan membatasi kita dalam memenuhi apa yang kita inginkan, disadari
atau tidak sebagai manusia tentu selalu menginginkan hal-hal yang mudah-mudah
apalagi masalah harta. Seandainya dalam kaidah ini kita bisa memilih, maka hal
yang pasti kita akan lakukan adalah memilih yang halal, apalagi hanya
berkumpulnya halal dengan haram, yang haram saat ini sudah bayak yang
dilegalkan menjadi halal, mereka menghalalkan segala cara unutk meraih ambisi
mereka. Berikut beberapa contoh yang dapat kami tulis:10
1.
Ketika Utsman bin Affan r.a ditanya
tentang hukumnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara dalam suatu
pernikahan, yang mana dari keduanya ada yang budak dan hamba sahaya. Maka
beliau mengharamkan hal tersebut dengan berlandasan dua ayat alqur`an surat
An-nisa` ayat 23: وانتجمعوابين
الاختينyang artinya: ``dan haram mengumpulkan (dalam
perkawinan) dua orang wanita bersaudara” dan ayat
9.
Shahih Bukhori Muslim.chm
10. Abdul Mujib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Hal 57
24: الاماملكت ايمانكم yang artinya ”kecuali
budak-budak yang kamu miliki” maka dengan belandaskan dua ayat inilah
Utsman bin affan mendahulukan ayat yang melarang adanya penyatuan dua saudara
dalam penikahan.
2. Contoh lain
dapat kita lihat dalam dua hadits yang mana keduanya saling bertentangan.
Hadits yang pertama berbunyi: لك من الحائض مافوق الازارyang artinya: ” bagimu (boleh
berbuat sesuatu) terhadap istrimu yang sedang haid pada segala yang berada
diatas kain pinggang” (HR. Abu
Daud) dan hadits yang kedua berbunyi: اصنعواكل شيءالاالنكاح yang artinya: ”perbuatlah
segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan”
(HR. Muslim dari Anas).
Hadits yang
pertama menunjukkan keharaman bagi seorang suami dalam menggauli istrinya pada
bagian-bagian tubuh antara pusar dan lutut ketika istri mereka dalam keadaan
haid, sedangkan hadits yang kedua mengindikasikan diperbolehkannya menggauli
sang istri pada saat lampu mirah menyala (haid), kecuali bersetubuh. Berlandaskan
pada kaidah diatas maka hadits pertamalah yang lebih kuat untuk diaplikasikan
dalam kehidupan berkluarga.
Kenapa
kaidah ini memenangkan haram ketika halal berada didalamnya (haram). Ada sebuah
hadits yang mana hadits ini mungkin akan membuat kita lebih yakin akan
kebenaran hukum yang terkandung dalam kaidah ini sehingga kita tidak ragu untuk
mengaplikasikannya.
Dari
Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu
jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar
itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa
terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah
yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang
maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki
larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya.
Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh
jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa
segumpal daging itu adalah hati”. [Bukhari Muslim ] 11
Kaidah kedua;
Kaidah ini tidaklah menghalangi kita
untuk berbuat baik kepada orang lain, seperti halnya mendahulukan orang yang
lebih berkepentingan dalam suatu urusan adalah suatu ahlak terpuji, dan itu
adalah salah satu ahalak yang dimiliki oleh nabi. Dan perlu kita fahami bahwa kaidah
ini, dapat diaplikasikan hanya pada ibadah yang bersifat husus.
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu
yang dibenci, karena masing-masing orang diperintahkan untuk mengagungkan Allah
ta’ala. Oleh karenanya jika dia tidak melakukannya dan hanya melimpahkan
pada orang lain adalah termasuk tindakan kurang adab kepada Allah azza wa
jalla.
Dengan beberapa contoh berikut semoga bisa dipahami:12
1.
Kalau
si Zaid mempunyai air hanya cukup untuk wudlu satu orang, sedangkan saat itu
dia membutuhkan wudlu, juga temannya yang saat itu sedang bersama dia, maka
kewajiban Zaid adalah menggunakan air itu untuk berwudlu dan biarkanlah
temannya itu bertayammum. Tidak boleh bagi Zaid untuk mempersilahkan temannya
wudlu sedangkan dirinya sendiri bertayammum.
2.
Kalau
si Zaid mempunyai air hanya cukup untuk wudlu satu orang, sedangkan saat saat
itu datang waktu sholat, sedangkan dia punya saudara yang tidak punya pakaian
yang menutup aurot, maka kewajiban yang punya tadi untuk sholat terlebih dahulu
menggunakan pakaian tersebut baru kemudian nantinya dia pinjamkan kepada
saudaranya. Dan tidak boleh baginya untuk mendahulukan saudaranya tersebut
dalam perkara ibadah.
11.Arbain An-nawawi.chm
Kalau
ada seseorang yang berada di shof pertama, maka dia tidak boleh mundur ke shof
kedua untuk mempersilahkan orang lain menempati posisinya.
Sebuah sejarah yang menggambarkan betapa besar sifat itsar
para sahabat radliyallahu’anhum dari urusan dunia. Sebuah peristiwa
mengharukan terjadi saat perang Yarmuk, perang melawan orang-orang Romawi. Dikisahkan
bahwa Ikrimah bin Abu Jahl dan dua sahabatnya radliyallahu’anhum terluka
parah. Tatkala ada seorang yang mengambilkan minum untuk beliau radliyallahu’anhu,
beliau melihat ada orang lain yang butuh minum, akhirnya dia mengatakan pada
yang membawa air minum: “Berikan pada dia terlebih dahulu”. Maka
pergilah dia ke tempat orang yang ditunjuk. Begitu air akan
diberikan padanya radliyallahu’anhu, dia pun berkata: “Berikan kepada
Ikrimah terlebih dahulu”. Akhirnya kembalilah dia ke Ikrimah dan ternyata
beliau sudah meninggal dunia begitu pula dengan dua sahabatnya, sebelum meminum
air tersebut”. Subhanallah.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari kedua kaidah diatas
dapat kami simpulkan:
الحرام adalah segala sesuatu yang jelek, dan sebagian darinya menjelekkan
kepada sebagian yang lainnya.
الحلال adalah segala sesuatu yang baik, dansebagian darinya menjadikan
baik pada sebagian yang lain dan menjernihkan pada sebagian yang lain. Akan tetapi
ketika halal tersebut bersatu dengan haram, maka haramlah yang akan menjadi hukum
dari sesuatu tersebut.
Itsar adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain
daripada dirinya sendiri. Kebalikannya adalah atsaroh yang bermakna
mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain. Dilihat dari
objeknya, Itsar ada dua macam:
Itsar dalam perkara duniawi
Itsar dalam hal ibadah
Sedangkan ditinjau dari sifatnya Itsar ada tiga macam:
Haram
Yang dimakasud haram ialah mendahulukan sunnah sehingga kewajiban
kita menjadi gugur.
Makruh dan
Yang dimakasud makruh dalam konteks ini ialah mendahulukan sunnah
sehingga kita mengerjakan yang makruh.
Khilaful aula
Yang dimakasud khilaful aula ialah suatu tindakan yang bersebrangan
dengan adat atau kebiasaan yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Depag
RI. Al-qran dan terjemahannya, Al-jumanatul
`ali. CV. Penerbit J-art 2005
Al-ghazali.
Ihyau `uklumuddin. Al-haramain.
Abdul Mujib. Kaidah-kaidah ilmu fiqh. Kalam mulya,
Jakarta. 2001
Hadits Arbain an-nawawi.chm
Shahih Bukhori Muslim.chm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar