Tanggal 16 april yang akan dating
adalah awal dari seuah penantian bagi kalangan pelajar, semuanya so pasti
degdekan menghadapinya entah itu siswa sebagai pemeran utamanya, baik pemeran
pendukungnya siapa dia..? siapa lagi kalau bukan siguru yang disebut-sebut
sebagai pahlawan tanpa jasa. Keanihan muncul dalam pelaksanaan UNAS, siswa yang
tidak begitu aktif dalam kelas semasa pembelajaran berlangsung ternyata
nilainya lebih unggul dari pada siswa yang aktif dalam kelas, bukan hanya itu
saja, lebih parahnya lagi mereka bahkan tidak lulus. Lantas siapakah yang harus
kita slahkan dalam hal ini, apakah siswa sebagai pemeran utama, ataukah guru
yang sebagai pemeran pendamping, atau pemerintah yang sebagai sutradara..?
semuanya saya pasrahkan kepada anda bagaimana anda menilai. Saya memilih judul unas
antara eksistensi pendidikan dan jurang peradaban ini bukan semata-mata dating
dari halusinasi saya peribadi, namun saya piker itu adalah fakta yang harus
kita sadari bersama bahwa UNAS itu bukanlah akhir dari peruses kita dalam
mencari ilmu. Tidak reliven rasanya jika saya hanya berkomentar dengan tampa
adanya alasan, maka dari itu saya akan menceritakan apa yang saya alami pada
detik-detik diri ini ingi menjadi seorang Abiturien.
Pada tanggal 05 Maret 2010, saya
bersama taman –teman melaksanakan UNAS tingkat SMA. Semua teman-teman saya pada
deg-dekan, dan kami mengamalkan amalan yang diberikan oleh guru kami, yang
khasiatnya katnya dapat merubah jawaban yang salah menjadi benar dalm komputer.
Hebatkan...! dalam keadaan genting seperti itu siapa yang tidak mau
melakukannya, yang penting lulus. Satu minggu dari dari pelaksanaan UNAS
suasana berubah, kalau sebelumnya asa motivasi supaya belajar dengan tekun,
bahkan menakut-nakuti bagi yang malas belajar dikhawatirkan tidak lulus,
ternyata motivasinya lain, kita malah diberikan terik-terik bagaimana kita
mengendalikan kelas dan menterasfer jawaban dengan jitu.
Begitulah liku-liku UNAS yang saya
hadapi, dan bukan hanya disekolah saya saja yang berbuat seperti itu, dari
sekian banyaknya sekolah dinusantara ini kalau memang ada yang melakasanakan
UNAS dengan riel, mungkin perbandingannya 1:1000. Jadi tidaklah heran jika
dalam satu sekolah ada yang tidak lulus, yang diakibatkan oleh kesalahan dalam
mendistribusikan jawaban. Yang kode soalnya A ternyata menerima jawaban kode
soal B, sehingga mengakibatkan ketidak lulusan siswa.
Saya akui, UNAS memang alat yang jitu
bagi negara kita dalam mempopulerkan pendidikan. Sekolah, dimana siswanya
mendapatkan nilai tertinggi akan menjadi sorotan media massa, sehingga sekolah
tersebut mendadak terkenal. Dibalik popularitas itu, mereka (Guru) bukan tidak
sadar bahwa mereka telah mnyalah fungsikan lembaga pendidikan, yang mulanya sebagai
wadah pencipta generasi muda yang berbudi pekerti, mempunyai moral serta
memilik segudang segudang peradaban, berubah menjadi lembaga yang mencetak
generasi muda yang tidak beradab, serta tak bermoral. Lembaga pendidikan
dijadikan sebagai jurang peradaban. Kenapa demikian..? Hasil reseach PGRI
menyatakan, bahwa “jika UNAS itu dilaksanakan secara sportive dan obyective,
maka yang lulus hanyalah 40-50% saja” tapi mengapa hasil riseach PGRI tersebut
berbanding terbalaik dengan realita yang ada..? itulah permasalahannya. Selama
UNAS dilaksanakan secara kucing–kucingan, maka hal itu tidak akan pernah sama
dengan realit. Dari sini sudah bisa kita tebak, kecurangan-kecurangan yang
diperbuat oleh para pelakasana pendidikan dalam perjalanan UNAS. Dari awal mereka
menanamkan benih-benih kehudupan, keilmuan, namun dipenghujung mereka malah
meracuni mereka dengan kecurangan, serta perilaku tak bermoral. Secara
biologis, masa remaja adalah masa diamana mereka berada dalam tahap perubahan
mental, timbulnya rasa keingintahuan, meniru, serta emosional, sehingga
tidaklah heran jika rasa hormat kepada orang tua, guru semakin terkikis
dalam peribadi-peribadi generasi bangsa. Semua itu berawal dari racun yang
diberikan oleh lembaga pendidikan kepada mereka, mereka diajarkan ketidak
disiplinan yang mengakibatkan adanya menyimpangan sosial, konvoi, arak-arakan,
dan sebagainya. UNAS tidak hanya berakibat buruk pada siswa, namun Guru sebagai
cermin kehidupan mereka akan kehilangan kredibelitas, dengan kurangnya rasa
hormat dari siswa kepada mereka, hal ini terjadi karena para siswa menganggap
bahwa cermin yang mereka miliki tidak lagi cemerlang, hingga timbullah kerisis
kepercayaan bagi siswa kepada guru-guru mereka.
Saya tidak tahu siapa yang harus saya
salahkan dan kepada siapa saya harus mengadu, namun saya berharap kepada semua
kalangan baik pemeran utama, pemeran pembantu serta sang sutradara yang sangat
tahu akan alur UNAS ini, saya mohon, do the best for this nation…..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar