Hari
ini adalah hari dimana peredikat abiturient disandang oleh adik-adik
siswa-siswi SMA dan yang sederajat, setelah tiga tahun menjalani masa-masa
indah disekolah bersama teman-teman dan guru mereka dengan penuh canda dan
tawa.
Yang
tidak kalah pentingnya adalah peroses dimana mereka pendapatkan sesuatu (Pendidikan)
yang tidak semua anak-anak sebaya mereka bisa mendapatkannya. Intelektualitas
mereka diasah sedimikian rupa sehingga pada ahirnya mereka menjadi orang-orang
yang berguna bagi diri sendiri dan bagi orang laian serta dapat menularkan
apa-apa yang telah mereka peroleh dari dunia pendidikan ketika mereka
dibutuhkan.
Berdasarkan definisi UAN seperti apa yang telah
dikemukakan oleh Mentri Pendidikan Nasianl M Nuh “ujian
nasional itu adalah bagian dari sistem evaluasi. Sistem evaluasi itu adalah
bagian dari proses belajar mengajar. Sehingga kalau diistilahkan ujian nasional
itu sebagai pohonnya maka sistem proses belajar mengajar itu sebagai hutannya.
Jangan sampai gara-gara kita memperdebatkan urusan pohon tadi, hutannya menjadi
tidak terawat,” maka jelas sekali bahwa pendidikan itu adalah wahana dimana seseorang
(murid) bergerak untuk berkereasi mencari jati diri, yang mana didalamnya sudah
tersedia orang-orang (guru) yang sudah siap untuk membina, membimbing serta
memberikan arahan bagaimana menuju masa depan yang lebih baik, dan bagaimana
menata kehidupan lebih nyaman.
Benar apa yang diungkapakan oleh Mendiknas M Nuh
yang menganalogikan UAN sebagai pohon sedangkan proses belajar mengajar adalah
hutannya. Sehingga untuk menciptakan pohon-pohon yang yang berualitas, maka
haruslah melihat letak geografis hutan itu sendiri. Jika pohon-pohon itu
berdiam dalam hutan yang tanahnya subur gembur, saya yakin pohon-pohon yang
ditanam akan tumbuh dengan kualitas yang mumpuni dan layak jual dan tidak perlu
susah-susah untuk mempromosikannya pada halayak bahwa ini adalah pohon yang
bagus dan sebagainya, karena publik sudah pasti mengetahui bahwa pohon-pohon
yang tumbuh didalam hutan yang gembur dan subur sudah barang pasti berkualitas
baik.
Ketika kita melihat kelulusan siswa/i diberbagai
sekolah, hampir 100% lulus. Angka kelulusan ini telah menjadi tolak ukur, bahwa
ketercapaian pendidikan dalam mendidik peserta didiknya sudah dapat dikatkan
berhasil dalam dunia pendidikan. Hutan yang subur akan menghasilkan Pohon yang
baik, dan pohon yang akan menghasilkan
buah yang baik pula. Hukum kausalitas tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan
ini, namun entah kenapa hukum kausalitas itu malah justru berbanding terbalik
dalam dunia pendidikan. Kenapa saya berkata demikian..? Kelulusan adalah sebuah
bentuk dari ketercapaian (prestasi) dari peroses belajar mengajar, guru sukses
dalam menularan ilmu pengetahuannya, murid sukses dalam menerima apa yang telah
disampaiakan oleh sang guru, jadi antara guru dan siswa sama-sama mendapatkan
prestasi dalam hal ini.
Perlukiranya saya menjelaskan lebih dulu apa itu Prestasi
sebelum sya melanjutkan tulisan ini lebih jauh.
Pengertian prestasi menurut beberapa pendapat
sebagai berikut:
1. Muray dalam Beck (1990 : 290) mendefinisikan prestasi sebagai berikut : “To overcome obstacle, to exercise power,
to strive to do something difficult aswell and as quickly as possible” (Kebutuhan
untuk prestasi adalah mengatasi hambatan, melatih kekuatan, berusaha melakukan
sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat mungkin).
2. Gagne menyatakan bahwa prestasi belajar
dibedakan menjadi lima aspek, yaitu:kemampuanintelektual,strategikognitif,
informasi verbal, sikap danketerampilan.
3. Menurut Bloom dalam Suharsimi
Arikunto (1990:110) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
4. W.J.S Poerwadarminta,berpendapat bahwa prestasi adalah hasil yang
telah dicapai(dilakukan,dikerjakan,dan sebagainya).
5. Mas’ud Said Abdul Qahar, persatasi adalah apa yang telah kita dapat
ciptakan, hasil pekerjaan, hasil menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan
keuletan.
6. Nasrun Harahap dkk, prestasi adalah penilaian pendidikan tentang
perekembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan
pelajaran yang disajikan kepada mereka serat nilai-nilai yang terdapat dalam
kurikulum.
Dari beberapa pengertian daiatas dapat
disimpulkan bahawa perestasi adalah sebuah pencapaian seseorang dalam
melaksanakan sesuatu, diaman hasil pencapaian itu diapresiasikan atau dapat
dilihat melalui kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ketika berbagai elemen pendidikan
berpendapat bahwa angka kelulusan yang tinggi itu menandakan bahwa proses
belajar mengajar dalam duania pendidikan sudah sukses dan sekolah-sekolah
berhak mendapatkan perestasi atas apa yang diraihnya. Menurut saya itu adalah
suatu anggapan yang tidak realistis dan secara hukum kausalitas tidaklah
sesuai. Ketidak sesuaia itu dapat kita lihat dari beberapa tindakan yang dilakukan
oleh anak didik, pada saat mereka menerima pengumuman kelulusan, mereka
merayakannya dengan konvoi, arak-arakan dan mencorat coret seragam bahkan lebih
parah lagi ada yang mengganggu masyarakat hingga menyesahkan masyarakat.
Kesuksesan itu seharusnya dapat dibuktikan dengan adanya kualiatas output yang
dapat dipertanggung jawabkan, bukan hanya memandang pada kuantitas saja. Selama
ini para pendidik cendrung menilai kesuksesan anak didiknya dengan sebelah
mata, padahal fungsi dari pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan kuantitas,
akan tetapi juga dapat menghasilkan kualitas.
Tugas seorang pendidik ialah
memanusiakan manusia. Para pembina pendidikan punya visi terhadap usaha
pemanusiaan manusia. Mereka tidak boleh tenggelam dalam peroses otomatisasi
pendidikan, tapi harus berani meletakkan dasar moral dan spritual bagi
pengembangan pendidikan.[1]
Ada dua kata yang perlu kita fahami Dari apa yang
ditulis oleh Piet: yang Pertama adalah pemanusiaan manusia.
Pendidikan adalah wadah pencetak manusia, membuat perubahan pada ketidak
nyataan manusia menjadi wujud yang nyata dengan membentenginya dengan intlegensi,
menuju setrata sosial yang lebih baik dan lebih memahami akan makna-makna
kehidupan, baik kehidupan dihari ini maupun kehidupan dimasa yang akan datang. Kedua
ialah kata moral dan spritual. Dimana para pendidik dituntut
untuk berani meletakkan dasar moral dan spritual demi perkembangan pendidikan.
Moral dan spritual adalah life control bagi semua orang dalam kehidupan
sosial, tidak adanya moral bagi sesorang, maka mereka akan terasingkan dari
lingkungannya dimana mereka tinggal. Sedangkan spritual menurut beberapa
pendapat adalah:
- Mickley et al (1992) menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang multi dimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
- Sedangkan Stoll (1989), menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi: dimensi vertikal adalah hubungan denganTuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimersi tersebut.
- Menurut Burkhardt (1993), spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: 1). Berhubungan. dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidak pastian dalam kehidupan. 2). Menemukan arti dan tujuan hidup. 3). Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. 4). Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
Dari beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa spritual berfungsi sebagai internal control
system
yang mengatur atau mengarahkan seseorang dalam menjalin hubungan dengan
Tuhannya dan dengan sesama mahluk hidup dengan baik. Yang terpenting dari
spritual adalah seperti apa yang dikatakan oleh Burkhard ialah menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. Dimana
dengan kekuatan dalam diri (empat element)[2] seseorang tersebut mereka bisa mengendalikan kehidupan mereka.
Lantas dimanakah letak kesuksesan para pendidik dalam mengaplikasikan
visi pendidikan bagi anak didiknya, jika pada ahirnya mereka (siswa/i) tidak
dapat menyeimbangkan ke-empat elemen tersebut, malah menampakkan ketidak
bermoralan, mereka mencorat-coret seragam mereka dengan berkonvoi ditegah jalan
umum, bahkan lebih parahnya lagi membuat kegaduhan hingga melakukan penjarahan
pada pedangan jalanan. Itukah out put dari dunia pendidikan yang dikatakan telah
menuai kesuksesan,..?
Saya mengatakan dengan sejujurnya,
bahwa dalam pelaksanaan UNAS tidak ada yang namanya KEJUJURAN. Saya berani berkata, karena saya
telah mengalaminya baik itu dibangku SMP atau yang sederajat maupun tingat SMA
sederajat. UNAS bukanlah hasil dari talenta siswa itu sendiri, akantetapi tidak
lain adalah jawaban dari guru-guru mereka yang ditransfer melalui berbagai
macam cara. Maka dari itu, tidaklah heran jika H-1 pasca UNAS berkeliaran
jawaban-jawaban dan angka kelulusan menuai kesuksesan kumolatif.
Siapa yang harus kita salahkan, yang
pemegang kabijakanlah yang menanggung akibat dari semuanya, karena mereka
adalah pembuat dari apa yang kita jalani sekarang ini. Adapun imbas dari tidak
adanya kejujuran dalam pelaksanaan UNAS, mengakibatkan ketidak pastian masa
depan bangsa yang secara idiologis telah merusak pancasila[3].
Moralitas generasi bangsa terkikis rapi karena olah dari cermin yang dijadikan
teladan bagi mereka, yang mengakibatkan kerisis ketaatan, kerisis adab
bagi para remaja selaku pemegang tombak masa depan bangsa.
Akankah
kebohongan ini terus berlanjut
tidak
adakah kesadaran bagi mereka
akan
kemunafikan yang mereka lakukan
hingga
kapan negri ini akan terus beterbangan
dalam
keterpurukan
terbelenggu
dari tangan-tangan kotor
yang
menjamah keperawanan bangsa
kapan
dan dimana
kan
tumbuh tunas-tunas bangsa
yang
mengamini prinsip-prinsip bangsa
berpegang
teguh pada prinsip-prinsip kehidupan
menjiwai
keberagaman
mewadahi
ketidak berdayaan
[1]. Piet A. Sahertian Konsep Dasar & Teknik
Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta
PT. Reneka Cita 2000. Cet Pertama. Hal.165-166
[2].
Yang
dimaksud dengan empat elemen adalah Air, udara, bumi dan api. Air, udara dan air berada dalam
perut manusia, air berupa cairan yang kita minum, udara berupa ogsigen yang
kita hirup dan bumi berupa makanan yang kita makan. sedangkan api kita kenal
dengan sebutan kalor yang tersebar diseluruh tubuh kita.
[3].
Sila ke-dua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dan
Sila ke-lima “ Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar