Kamis, 03 Maret 2016

GURU PAHLAWAN MINTA JASA

            “Guru diguguh dan ditiru” kata-kata ini tidak lagi asing ditelinga kita, kata ini mengajarkan anak-anak kita untuk selalu patuh dan taat kepada guru dan menjadikan mereka sebagai teladan atau cermin dalam menatap masa depan dan menata kehidupan utamanya dalam hal perilaku sosial. Guru adalah salah seorang yang sangat luar biasa, tangguh, semangat, bijaksana, sabar dalam memberikan atau menularkan ilmunya sampai ilmu yang disampaikan benar-benar dapat diterima dan dipahami, tidak sedikit halangan atau cobaan yang dihadapi dalam transformasi keilmuan, namun mereka tetap dalam titik pengabdian. Tidak sedikit guru-guru kita zaman dahulu, hanya demi mempertahankan kebenaran mereka rela keluar masuk penjara karena tidak sehati dengan penguasa.
            Sang guru adalah teladan, diguguh dan ditiru, berani berkata sesuai fakta. قُلِ الْحَقَّ وَلَوْ كَانَ مُرًّا “katakanlah kebenaran sekalipun pahit untu diucapkan”. Hadits ini merupakan sifat yang tidak dapat terpisahkan bagi kehidupan seorang guru, demi kebenaran jalan-jalan terjal tidak menjadi hambatan, demi kebenaran sekalipun nyawa harus melayang mereka tetap dibaris depan menyampaikan amanat-amanat suci kehidupan dengan sepenuh hati tanpa balas budi, hanya rida dari sang empunya ilmu yang dinanti. Demi ilmu mereka rela berkorban, mengorbankan jiwa dan raga, tak hayal dalam terik matahari, mereka terus menapaki jalan setapak, dinginnya malam tidak mengerutkan hati mereka untuk menurehkan kata-kata demi masa depan anak bangsa. Mereka bukanlah seorang konglomerat dengan kemewahan luar biasa, mereka hanyalah seorang guru dalam gubuk sederhana yang hanya beralaskan tikar seadanya.
            Imam al-ghazali adalah maha guru bagi kaum muslim yang telah dikenal dengan sang hujjatul islam, karena sumbangsih keilmuannya yang luar biasa dalam tatanan kehidupan islam. Beliau adalah sang guru yang tak jarang hidup dalam lapar dan dahaga, hidup seadanya, makan apa adanya, namun tetap dalam keilmuannya demi tatan kehidupan bangsa. Lain al-ghazali lain pula dengan Sidarta Gautama, anak dari keturunan raja yang semasa mudanya hidup dalam kemegahan tanpa kekurangan, namu setelah branjak dewasa ia memutuskan untuk mengembara meninggalkan kemegahan mencari ketenangan yang kemudian dinobatkan sebagai sang budha. Kesederhanaan, keikhlasannya dalam menyampaikan ilmu-ilmu kehidupan membawanya menjadi seorang guru suci yang dihormati dan ditati. Mereka tiada lain adalah sang guru yang patut diguguh dan ditiru. Mereka adalah Pahlawan Tanpa Jasa.
            Perkembangan tehnologi yang takdapat dihindari menimbulkan evolusi kehidupan, tuntutan-tuntutan kehidupanpun tidak jarang dilayangkan dibangku-bangku kekuasaan menuntut kebijaksanaan, jalan-jalan sering dihiasi oleh ratusan bahkan ribuan penadah kebijakan meminta kesetaraan dalam kehidupan, tidak lain didalamnya adalah para guru yang menuntut agar pemerintah mengangkat mereka menjadi PNS. Sejarah mencatat, pada tanggal 10 Februari 2016 di Indonesia sekitar 15 ribu guru bak semut-semut yang mengerogoti gula di istana negara, mereka menuntut hak mereka pada negara (menaruh pundak pada negara) dan meninggalkankewajiban mereka untuk mengajar para siswa. Tidak sedikit sekolah yang siswanya terlantar  ditinggal sang guru untuk berdemo hingga prasangka buruk atas pemerintah diekpresikan dalam lantunan ayat-ayat suci al-quran dan dzikir (tahlilan dan baca yasin bersama). ‘’Guru diguguh dan ditiru’’ kenyataan tidak dapat dipungkiri, sang guru yang tangguh, semangat, bijaksana, sabar dan ikhlas luntur karena hujan.
             Guru mengajari murid ‘’Tunaikan Kewajibanmu, Maka Hakmu Akan Terpenuhi’’ ‘’Berdoalah Untuk Kebaikan Orang Lain, Jangan Berdoa Untuk Keburukan Orang Lain’’ ‘’Berbaik Sangkalah Kepada Orang Lain, Jangan Berburuk Sangka Kepada Orang Lain’’. Semuanya bak pamflet yang terbuang karena expride, hanya karena pangkat dan jabatan. Mereka para guru menuntut/berdemo diistana negara untuk segera diangkat sebagai PNS, mereka bahkan menyeru ‘’Kami Bukan Budak” Lantas siapakah mereka...? bukankah guru adalah abdi atau hamba (Budak dalam kata yang kasar) yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah kehidupan,  بلِّغُوْ عَنِّيْ وَلَوْ اَيَةْ  “sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” . ketika sang guru sudah tidak lagi mengakui kapasitas dirinya secara hakiki, bagaimana bisa mereka dapat menyampaikan risalah kehidupan dengan sepenuh hati, mereka mengajar seakan bukan karena anamah, tapi karena status kepegawaian yang dinanti. Jika sudah demikian, masih wajarkah kita untuk berkata “guru adalah pahlawan tanpa jasa”.?
Allah berfirman dalam Surat al-Mujadalah ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
          Ayat diatas adalah janji allah kepada setiap orang yang beriman dan juga bagi orang yang mengamalkan ilmunya, bahwa mereka akan diangkat derajat mereka didunia dan diakhirat. Namun perlu direnungkan bersama tatkala sudah sekian tahun mengabdi (para guru) kenapa masih saja tetap dalam tangga dasar kehidupan...?
Allah menjawab dalam firmannya:
وان ليس لانسان الاما سعى
“apa yang didapat oleh manusia tiada lain adalah apa yang mereka usahakan ”
Allah juga berfirman dalam surat AL-Amfal:53
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
            Bukankah sudah jelas dalam kompas kehidupan, hukum kausalitas tidak pernah lari dan akan terus sesuai dengan usaha masing-masing insan. Masihkah mereka bergeming (minta gaji dinaikkan, pangkat dinaikkan yang semuanya tiada lain dibayar dari hasil pendapatan negara utamanya pajak daerah, namun disaat BBM dinaikkan, tidak sungkan mereka untuk berkomentar sinis akan kebijakan) meminta kebijakan untuk ditetapkan pengangkatan, dengan tanpa harus ada seleksi kelengkapan profesionalitas. Sungguh ironis negeri ini, kuantitas lebih diutamakan daripada kulitas, namun disaat bencana melanda negeri ini, pemerintah dijadikan kambing hitam.
            Akhir kata dari penulis untuk mereka para guru yangmenggerogoti istana negara. “Guru Bukanlah Sang Pahlawan Tanpa Jasa” “Guru Adalah Pahlawan Minta Jasa”

Pamekasan, 23/25 Februari 2016

Tidak ada komentar: