A. Pengertian
Etika
Secara
teoritis kita dapat membedakan dua pengertian etika-kendati dalam penggunaan
praktis sering tidak mudah dibedakan. Pertama,
Etika berasal dari kata Yunani ethos,
yang dalam bentuk jamaknua (ta etha)
berarti `adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkaitan
dengan kebiasaan yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu
masyarakat atu kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan
nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala
kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari
suatu generasi ke generasi yang lain. Yang menarik disini dalam pengertian ini
etika justru persisi sama dengan pengertia moralitas. Moralitas berasal dari
kata latin Mos, yang dalam bentuk jamaknya
(Mores) berarti `adat istiadat atau
kebiasaan. Jadi sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus
hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat
kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola prilaku yang ajek dan trulang dalam
kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan. Kedua, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas.
Dalam pengertian kedua ini, etika mempunyai pengertian yang jauh lebih luas
dari moralitas dari etika dalam pengertia pertama diatas. Etika dalam
pengertian kedua ini dimengerti sebgai filsafat moral, atau ilmu yang membahas
dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam
pengertian pertama diatas. Dengan demikian, etika dalam pengertian kedua dapat
dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma
yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan
mengenai (b) masalah-maslah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada
nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.[1]
B. Definisi
Bisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an
biasanya yang digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi
yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal
dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau
berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan
(menurut kamus al-munawwir).
Menurut ar-Raghib al-Asfahani
dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an , at-Tijarah bermakna pengelolaan harta
benda untuk mencari keuntungan.
Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib ,
fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang
mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah
pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan
perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah ; 282. Kedua, dipahami dengan
perniagaan dalam pengertian umum.
Dari penjelasan diatas, terlihat
bahwa term bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah pada hakikatnya tidak
semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari keuntungan material
semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih meliputi
dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas.
Aktivitas bisnis tidak hanya
dilakukan semata manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah swt,
bahwa bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses
administrasi dan perjanjian-perjanjian dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan
cara penipuan, dan kebohongan hanya demi memperoleh keuntungan.
Dalam hal ini, ada dua definisi
tentang pengertian perdagangan, dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu
menurut mufassir dan ilmu fikih:
1. Menurut
Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk mendapatkan
keuntungan.
2. Menurut
Tinjauan Ahli Fikih, Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara
suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian.
3. Menurut
cara yang diperbolehkan penjelasan dari pengertian diatas :
a.
Perdagangan adalah suatu bagian muamalat yang
berbentuk transaksi antara seorang dengan orang lain.
b.
Transaksi perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk
jual beli yang diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
c.
Perdagangan yang dilaksanakan bertujuan atau dengan
motif untuk mencari keuntungan.
C. Landasan
Filosufis Etika Bisnis dalam Islam
a.
Tujuan Umum
Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam
Dalam hal ini, etika bisnis islam
adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis
profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam
mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal
sebagai berikut :
a. Membangun kode
etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam
kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi
pelaku bisnis dari resiko.
b. Kode ini dapat
menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama
bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas
segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
c. Kode etik ini
dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang
muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
d. Kode etik dapat
memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara
sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.
e.
Sebuah hal yang dapat membangun
persaudaraan (ukhuwah)
dan kerja sama
antara mereka semua.
b.
Panduan
Rasulullah dalam Etika Bisnis
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai
etika bisnis, di antaranya ialah:
a) Bahwa prinsip
esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat
intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau
bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai
aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa
yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim).
Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para
pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian
atas.
b) Kesadaran
tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak
hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang
diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada
sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis.
Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari
kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
c) Tidak melakukan
sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis
melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis
riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu,
barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis
riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi
orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya
nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam
kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan
pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari,
bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak
berkah.
d) Ramah-tamah.
Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi
Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramahÂ
dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
e) Tidak boleh
berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli
dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan
bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk
menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang
lain untuk membeli).
f) Tidak boleh
menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw
bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk
menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
g) Tidak melakukan
ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu,
dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun
diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
h) Takaran, ukuran
dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat
harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang curang,
yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi” ( QS. 83: 112).
i)
Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan
ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis
lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
j)
Membayar upah sebelum kering keringat
karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan,
sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran
upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang
dilakukan.
k) Tidak monopoli.
Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan
oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu
tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan
isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini
dilarang dalam Islam.
l)
Tidak boleh melakukan bisnis dalam
kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak
kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di
saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual
barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga
keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena
dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan
secara cermat.
m) Komoditi bisnis
yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti
babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R.
Jabir).
n) Bisnis
dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang
batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara
kamu” (QS. 4: 29).
o) Segera melunasi
kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang
memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik
kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
p) Memberi
tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi
Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang
atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada
hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
q)
Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih
dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah
sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku
dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan(QS. 2: 275).
Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
c.
Teori dan
Sistematika Etika Bisnis
Sistem etika Islam secara umum memiliki
perbedaan mendasar dibanding sistem etika barat. Pemaparan pemikiran yang
melahirkan sistem etika di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang
dinamis dengan cirinya yang berubah-ubah dan bersifat sementara sesuai
dinamika peradaban yang dominan.
Lahirnya pemikiran etika biasanya
didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya.
Pengaruh ajaran agama kepada model etika di Barat justru menciptakan
ekstremitas baru dimana cenderung merenggut manusia dan keterlibatan duniawi
dibandingkan sudut lain yang sangat mengemukakan rasionalisme dan keduniawian.
Sedangkan dalam Islam mengajarkan
kesatuan hubungan antar manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi
dan ukhrawi dengan berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur'an dan
Hadis.
1.
Etika Dalam
Perspektif Barat
Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga
teori etika yang akan dibahas, antara lain :
a.
Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni :
Pertama, konsepUtility (manfaat) yang kemudian disebut
Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini
dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai
hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu
yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi
banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu
itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Dan kedua, teori Keadilan Distribusi (Distribitive
Justice) atau keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari
teori ini adalah perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan
distribusi barang dan jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang
memiliki nilai dasar keadilan.
Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat
beretika apabila berakibat pada pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan
beban, sehingga konsep ini berfokus pada metode distribusinya. Distribusi
sesuai bagiannya, kebutuhannya, usahanya, sumbangan sosialnya dan sesuai
jasanya, dengan ukuran hasil yang dapat meningkatkan kerjasama antar anggota
masyarakat.
b.
Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel
Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan
prinsip-prinsip universal, bukan "hasil" atau "konsekuensi"
seperti yang ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya
tapi mengikuti suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu
: Pertama, Teori Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini
bukanlah aturan atau prinsip yang secara universal benar atau diterima, akan
tetapi apa yang paling baik bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini
adalah tidak menyoroti perbuatan manusia saja, akan tetapi seluruh manusia
sebagai pelaku moral. Memandang sikap dan akhlak seseorang yang adil, jujur,
mura hati, dsb sebagai keseluruhan.
Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law),
dasar dari teori ini adalah bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran
kitab suci dan alam.
c.
Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
·
Personal
Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana
perbuatan etikal diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan
keadilan atau kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada
(diketahui) untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan
tumbuh subur dari maksimalisasi kebebasan individu.
·
Ethical Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi
kepentingan individu dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang
bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa
juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang
dianggap penting oleh pengambil keputusan.
·
Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini
adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar perilaku tidak dapat
dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar salah ataua
benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih prinsip etika
yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya menjadi.
·
Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu
bersifat relatif, jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar
pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan
perbuatan etis. Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda
setiap budaya dan negara.
·
Teori Hak (right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in
adalah kebebasan. Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap
kebebasan memilih. Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2.
Etika dalam Perspektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang
dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama
berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan
perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar kebenarannya.
Maka, Islam meletakkan "Al-Qur'an" sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat
dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai berikut :
a.
Teleologi
Utilitarian dalam Islam adalah hak individu dan kelompok adalah penting dan
tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b.
Distributive
Justice dalam Islam adalah Islam mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada
pada harta orang kaya. Islam mengakui kerja dan perbedaan kepemilikan kekayaan.
c.
Deontologi
dalam Islam adalah Niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal.
Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik,
maka tetap tidak baik.
d.
Eternal Law
dalam Islam adalah Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca wahyu
dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan
manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah sebagai proses
penyucian diri.
e.
Relativisme
dalam Islam adalah perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan
dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f.
Teori Hak dalam
Islam adalah menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan
menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima.
Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.
d.
Ketentuan Umum
Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam
1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan
sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan
yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan
keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar
pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat
adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim.
Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang
berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang
selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda
kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah
kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan
mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam
bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن
تأويلا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. al-Isra’: 35).
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. al-Isra’: 35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan
bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang
tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8
yang artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak Bebas
(Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam
nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan
kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan
bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus
menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak
dan sedekah.
4. Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal
yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya
pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan
kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip
ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa
yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.
5. Kebenaran:
kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain
mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur
yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan
sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi)
proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika
bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya
kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian
dalam bisnis.
D. Kesimpulan
Etika bisnis islam adalah merupakan hal
yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana
diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi
substansial yang membekali para pelaku bisnis.
Prinsip
ekonomi, menurut para pebisnis dan para konglomerat adalah untuk mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menggunakan etika bisnis yang ada.
Panduan
Rasulullah dalam etika bisnis yang perlu diperhatikan dalam berbisnis :
1.
Prinsip essensial dalam bisnis adalah kejujuran
2.
Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis
3.
Tidak melakukan sumpah palsu
4.
Ramah tamah
5.
Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik
membeli dengan harga tersebut.
Islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas
dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
Realitasnya,
para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Para pelaku bisnis yang
sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya
maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan
manajemen konflik.
[1] . A. Sonny Karaf. DR. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya.
Penerbit Kanisus. Yogyakarta 1998. Hal.
13-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar