BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem ekonomi dunia yang saat ini bersifat sekuler -dimana
terjadi dikotomi antara agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya
aktivitas ekonomi- telah mulai terkikis. Terjadinya dikotomi ini terjadi pada
masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, dimana pada masa
tersebut kekuasaan gereja Katolik sangat dominan. Sehingga hal ini menimbulkan
pergerakan yang berupaya untuk mengikis kekuasaan gereja yang terlalu besar
pada masa itu. Pergerakan inilah yang pada akhirnya memunculkan suatu aliran
pemikiran bahwa harus terjadi suatu pembedaan atau pembatasan antara aktivitas
agama dengan aktivitas dunia, sebab munculnya pemikiran keilmuan seringkali
dianggap bertentangan dengan doktrin gereja pada masa itu.
Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak
mengenal pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi. Hal ini terbukti
bahwa pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru
terjadi masa keemasan dan kejayaan Islam. Dimana terjadi pembaharuan dan
perkembangan pemikiran oleh para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan
pengembangan keilmuan sampai saat ini, seperti ilmu aljabar.
Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh dunia terutama
oleh para generasi muda muslim, sehingga generasi muda muslim saat ini
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Barat pada waktu dark
ages –yaitu melakukan dikotomi antara aktivitas spiritual dan aktivitas
duniawi- yang justru membuat Islam semakin redup cahayanya. Karena Negara Barat
semakin maju ketika jauh dari ajaran agamanya, sementara umat Islam akan
semakin tertinggal ketika meninggalkan agamanya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Saja Azas-Azas Ekonomi Islam..?
2. Apa
Saja Sistem Ekonomi Islam..?
3.
Dan Apa Dasar-Dasar Ekonomi Islam..?
C. Tujuan
1. Untuk
mengaetahui apa saja azas-azas dalam perekonomian islam.
2. Untuk
mengetahui bagaimana sistem perekonomian dalam islam.
3.
Dan apa saja landasan/dasar hukum
ekonomi islam itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Azas-Azas
Ekonomi Islam
Pada
perinsipnya ekonomi islam memiliki beberapa azastertentu, namun beberapa
penulis hanya mengemukakan tiga azas saja yaitu : al-milkiyah. Tasharraf fil
milkiyah. Tauzi`ul tsarwah baina an-naas.[1]
1. Al-Milkiyah
Al-Milkiyah
atau kepemilikan adalah izin untuk
memanfaatkan benda atau sumberdaya yang ada untuk kepentingan bersama.
Sebagaimana perinsip islam yang menempatkan alam dan manusia sebagai dua unsur
yang saling melengakpi satu sama lain, alam sebagai object bagi manusia yang
harus dijaga kelestariannya, keberlansungan hidupnya, dan manusia bukanlah
satu-satunya orang yang menjadi pemiliki dari suatu benda, namun manusia
hanyalah sebagai pengelola (istikhlaf) akan apa yang kita miliki untuk
kemaslahatan ummah, dan Allah adalah pemilik hakik dari apa yang kita miliki,
yang mana dari semua itu akan dimintai pertanggung jawabannya, baik secara
hukum institusional dan secara syar`i.
Adapun tata cara kepemilikan dan sebab-sebab kepemilikan dapat
dilihat pada tabel:[2]
2. At-Tasharraf fil milkiyah
At-Tasharraf
fil milkiyah atau pengelolaan kepemilikan adalah
sekumpulan tata cara yang mana dengannya manusia mengacu atau bercermin dalam
memanfaatkan harta yang diamanahkan Allah kepadanya. Pengelolaan kepemilikan
ini terkait dengan the generalized others, yang mana manusia bertindak
sebagai manager dalam mengelola dan menguasi harta mengaci pada nilai-nilai
intrinsik dan ekstrinsik suatu benda/harta tersebut.
Seorang
ekonom muslim seyogyanya memandang harta dalam persfektif yang luas,
sebagaimana islam memandang harta sebagai amanat allah untuk dijadikan media
dalam menjalankan amarma`ruf nahi mungkar. Dan seorang ekonom muslim harus
faham akan bagaimana pengelolaan harta yang sesuai dengan garis-garis Illahi.
Apabila ditarik dalam kecamata yang mengkerucut maka ada dua kegiatan :
1)
Pembelanjaan
harta (infaqul maal) adalah pemberian harta oleh individu untuk berderma
kepada orang lain yang lebih berhak menerima tampa adanya kompensasi.
2)
Pengembangan
harta (tamniyatul mal) adalah kegiatan seseorang dalam mengembangkan
harta yang mereka miliki, yang tentunya sesuai dengan etika dan nilai-nilai
keislaman. Usaha-usaha itu dapat ditempuh melalui berbagai macam kegiatan,
seperti usaha-usaha produktif, jual beli, kerja sama syirkah, perindustrian
maupun perdagangan.
3. Tauzi`ul tsarwah baina an-naa
Tauzi`ul
tsarwah baina an-naa atau distribusi
kekayaan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi azas dalam islam, oleh
karena itu, dalam konteks ini islam memberikan berbagai ketentuan yang
berkenaan dengan ini untuk menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa setiap
individu masyarakat, dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan dan
akad muamalah yang wajar.
Namun
dsemikian adanya perbedaan yang terdapat pada manusia dalam segi kapabilitas
dan kreativitas menyebabkan adanya perbedaan tingkat partisipasi dalam
masyarakat, yang ahirnya akan menyebabkan adanya ketidak seimbangan dalam
pemenuhan kebutahan (distribusi) dalam masyarakat. Sehingga untuk
mengantisipasi terjadinya semua itu ekonomi islam memberikan solusi alternatif
yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Pertama, mekanisme ekonomi yang dapat ditempuh oleh sesorang seperti
melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif.
Kedua, mekanisme non ekonomi, yaitu mekanisme yang tidak melalui
aktivitas ekonomi produktif, melainkan dari aktivitas ekonomi non produktif,
misalnya pemberian (hibah, shadaqah,zakat, dll) atau warisan. Mekanisme ini
dimaksud untuk melengkapi mekanisme ekonomi dengan tujuan untuk mengatasi
ketidak seimbangan distribusi kekayaan dalam masyarakat. Adapun jalan untuk
memenuhi kebutuhan dengan keseimbangan distribusi melalui mekanisme non ekonomi
ada beberapa cara yang diantaranya: 1. Pemberian harta negara kepada warga
negara yang layak menerima. 2. Pemberian
Zizwak serta hibah dari yang mampu kepada orang yang berhak menerima. 3.
Pembagian harta waris kepada ahli warisnya, dan banyak lagi yang lainnya.
Secara
struktural, azas dan kaidah sistem ekonomi islam dapat dilihat pada tabel
berikut:[3]
B.
Sistematika
Ekonomi Islam
Semenjak
hijrahnya rasulullah saw ke-madinah yang mendapatkan sambutan baik dari
penduduk setempat akan kedatangan beliau, dengan menjadikan beliau sebagai
penguasa dalam dua kekuasaan, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.
Dengan kekuasaan itu makan beliau mewujudkan perubahan secara drastis, dalam
bidang sosial (merehabilitasi kaum muhajirin), budaya (membangun masjid), dan
juga dalam kepemerintahan (membuat konstitusi negara dan meletakkan dasar-dasar
sistem keuangan negara) yang bersih dari berbagai tradisi, ritual dan norma
yang tidak sesuai dengan konsep agama islam, dan disusun berdasarkan
nilai-nilai qurani.
Peletakan
sistem keuangan yang dilakuan oleh rasulullah adalah sebuah ide brilian dan
spectacular yang kemudian menumbuhkan embrio-embrio kehidupan islam sebagai
sebuah agama dan negara serta islam berkembang dengan pesat dalam waktu yang
relatif singkat.
Sistem
ekonomi yang diterapkan oleh rasulullah tiadak lain adalah sistem yang berakar
pada perinsip-prinsip Qurani. Al-quran yang merupakan sebagai sumber utama
ajaran islama telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah bagi umat
manusia dalam melaukan aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk dibidang
ekonomi. Perinsip islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi adalah
milik Allah semata dan manusia sebagai khalifah-Nya dimuka bumi. Sebagai
khalifatullah fi al-ardh, manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik
dari seluruh ciptaan yang lainnya, seperti matahari, bulan, dan langit telah
ditakdirkan untuk dimanfaatkan oleh manusia, yang merupakan rahmat serta kasih
sayang allah yang sangat besar terhadap umatNya.[4]
Dalam rangka mengamban amanah sebagai
khlifah didunia, maka manusia diberikan kebebasan penuh dalam mencari nafkah
sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang telah ditatapkan oleh allah, dan yang
demikian ini merupakan kewajiban asasi dalam islam. Dengan begitu, islam
mengakui kepemilikan peribadi, tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat
produksi barang perdagangan. Akan tetapi islam hanya melarang perolehan
kekayaan yang dipatkan melalui peraktek-peraktek ilegal. Islam juga memandang
sama semua manusia, setiap manusia mempunyai hak penuh dalam memiliki
penghasilan dari harta kekayaan meraka yang diperoleh dari hasil keringat
mereka.
C.
Dasar-dasar
ekonomi islam
Mengacu pada pemikiran Choudhury (1998) disepakati bahwa
epistemologi fundamental ekonomika Islami didasarkan pada Al-Qur’an dan
as-Sunnah yang merupakan “the primordial stock of knowledge” sehingga
disebut sebagai tauhidi epistimologi. Runtun proses bagaimana
implementasi epistemologi Tauhidi ke dalam tata aturan kehidupan ditempuh
melalui ijtihad terekam dalam Qiyas maupun Ijma, dan juga pemikiran kontemporer
dari pemikir Muslim hingga saat ini. Karakter dari epistimologi Tauhidi ialah
(a) premis aksiomatiknya tidak berubah, (b) tidak dapat dipecah-pecah, (c)
dalam kesatuan dan sempurna, dan (d) dapat diimplementasikan secara universal
kepada semua sistem, karena merupakan kesatuan (unity), maka derivasinya
adalah persatuan (unification) dari “the primordial stock of
knowledge”. Aksioma yang dimaksud diturunkan dari
Al Qur’an, yakni bahwa Allah SWT adalah Maha Pencipta yang
dengan 99 sifat-sifat-Nya memanifestasikan kemuliaan-Nya atas ciptaan-Nya. Oleh
karena itu, manusia sebagai khalifah di muka bumi harus juga memanifestasikan
sifat-sifat-Nya ke dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, manusia dibekali
amanah untuk berkebebasan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya,
menciptakan dan menjaga kehidupan dunia dan akhirat secara berkeseimbangan, dan
bertanggungjawab atas pekerjaannya itu baik di dunia dalam rangka bermuamalat
maupun di akhirat pada hari pembalasan. Format berkehidupan seperti ini
disebutkan sebagai tujuan mardhatillah. Inilah butir-butir iman yang
masuk ke dalam aksioma al-iqtishad (ekonomi).[5]
Berdasar atas pertimbangan tersebut di atas, teori, model
dan sistem ekonomi Islam -sebagai alternatif teori ekonomi yang telah mati-
harus didasarkan pada aksiomatik etika Islam yang dirangkum dalam Tauhid,
Kebebasan, Keseimbangan, dan Pertanggungjawaban dari setiap individu. Mengacu
pada pemikiran Choudury (1998) tentang prinsip-prinsip Ekonomika Islami adalah
: (1) Tauhid dan Ukhuwwah, (2) Kerja dan Produktivitas, dan (3) Keadilan
Distributif . Sebagai khalifah di bumi, manusia berkewajiban untuk memanfaatkan
bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang serba berkecukupan itu untuk
sebesar-besar kemaslahatan ummat, bukan untuk orang seorang, karena setiap
insan beriman bahwa pemilikan mutlak adalah pada Allah swt.
Seperti apa yang telah difirmankan oleh allah dalam surah
al-a`raf : 10.
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي
الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan
kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”[6]
Untuk itu, ia harus bekerjasama dengan sesama seraya memohon
bimbingan Allah. Hubungan dengan Allah dan dengan sesama dalam keseharian kerja
inilah yang menjadikan suatu hasil kerja dapat disebut sebagai bermanfaat.
Pemanfaatannya tidak sekedar berkisar pada tematik alokasi sumber daya yang
optimal, pertukaran antar barang dan jasa melalui pasar, dan memaksimumkan
laba, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah keadilan sosial.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ
اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”(QS:28:77) [7]
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam
berdasarkan konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah adalah:
1. Pemenuhan
kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
2. Memastikan
kesetaraan kesempatan untuk semua orang
3. Mencegah
terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi
pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
4. Memastikan
kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral
5. Memastikan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Kerangka institusional suatu
masyarakat Islam yang diajukan oleh M.Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya “Teaching
Economics in An Islamic Perspective” adalah:
1. Meskipun
kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam Islam diperkenankan
suatu kepemilikan pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban dengan sesama dan
batasan-batasan moral yang diatur oleh syariah.
2. Kebebasan
untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap mendapatkan
batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini kompetisi yang
berlangsung haruslah persaingan sehat.
3. Usaha
gabungan (joint enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam
bekerjasama, dimana sistem bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko yang
mungkin timbul diterapkan.
4. Konsultasi
dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan
publik.
5. Negara
bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur individu dalam setiap
keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam.
Empat nilai utama yang bisa ditarik
dari ekonomi Islam adalah:
1. Peranan
positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi
berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh orang
lain.
2. Batasan
moral atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam setiap
melakukan aktivitasnya akan mampu pula memikirkan dampaknya bagi orang lain.
3. Kesetaraan
kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan
kewajiban yang harus dilaksanakan.
4. Usaha
untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama, sebab hal ini menjadi salah satu
fokus utama dalam ekonomi Islam.
Pesatnya perkembangan lembaga keuangan syari’ah memberi
angin segar bagi maraknya kegiatan ilmiah berbasis Ekonomi Islam yang
dilakukan, terutama oleh kalangan akademisi Perguruan Tinggi Umum maupun Islam,
hal ini juga menunjukkan semakin meningkatnya apresiasi umat Islam terhadap
upaya penegakkan syari’ah dalam bidang ekonomi atau upaya artikulasi
nilai-nilai Islam dalam ruangan ekonomi. Bahkan saat ini beberapa perguruan
tinggi telah menjadikan ekonomi Islam sebagai objek kajian (subjek matter)
baik dalam bentuk program studi maupun konsentrasi. Ada semacam justifikasi
sosial atas kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi konvensional yang selama
ini dijalankan, sekaligus menumbuhkan kuriositas umat Islam, khususnya, untuk
lebih memahami Ekonomi Islam. Bahkan bagi sebagian kelompok masyarakat muslim
ada semacam tuntutan untuk menemukan kembali khazanah Islam yang sempat
terlupakan dalam bidang ekonomi.
Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath)
dalam Islam, yang secara garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh
seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus
hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushl fiqh. Metode
pengambilan hukum atas suatu permasalahan dalam Islam ada bermacam-macam
metode, namun dalam buku ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum
yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits &
sunnah, ijma, dan qiyas.[8]
a) Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan
asli adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang
disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat
manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian
Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
(baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi,
terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non
Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka
bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah
SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril.
Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi
mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita
untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat
dari jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual
semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum tersebut.
Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam dengan
sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sehingga dalam setiap penarikan dan
pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam
Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik
kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu
dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu
Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap
muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang
sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh
seluruh umat manusia.
Adapun ayat yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi selain
yang telah disebutkan diatas anatara lain:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”[9] Dan banyak lagi yang
lainnya.
b) Hadits
dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah
yang secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada
perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar
didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah
mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu
sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, pada
pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui,
dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai sahabat-sahabatnya.
Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah
pemberitaan sesungguhnya.
Hadits dan sunnah ini hadir sebagai
tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim
dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan
keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta
penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak
terdapat di Al-Qur’an. Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan
tafsir, dimana sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh
dan memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih,
sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai tingkatan dari shahih,
hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits mempunyai tingkatan dari
mutawatir dan ahad.
Berikut beberapa hadist yang berkaitan dengan ekonomi:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( اِبْتَعْتُ
زَيْتاً فِي اَلسُّوقِ, فَلَمَّا اِسْتَوْجَبْتُهُ لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي
بِهِ رِبْحاً حَسَناً، فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِ اَلرَّجُلِ، فَأَخَذَ
رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي، فَالْتَفَتُّ, فَإِذَا هُوَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ,
فَقَالَ: لَا تَبِعْهُ حَيْثُ اِبْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ;
فَإِنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ تُبَاعَ اَلسِّلَعُ
حَيْثُ تُبْتَاعُ, حَتَّى يَحُوزَهَا اَلتُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ ) رَوَاهُ
أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
وَالْحَاكِمُ
“Ibnu Umar Radliyallaahu
'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah
menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan
keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada
seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia
adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan menjualnya di tempat engkau
membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai
para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan
lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim”[10]
Dan
hadist-hadist tentang ekonomi islam yang ada dalam kitab-kitab hadist dapat
kita lihat dalam tabel berikut:[11]
c) Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum
ketiga merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama.
Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa
sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada
sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma
adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas
setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling
ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini
memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits
serta sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di
bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah
disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang
seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil
pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali
salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran
yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
d) Ijtihad
dan Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti
meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu
persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya
mungkin benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian
pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi
analogis dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y (pendapat
pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah
ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas. Terdapat
bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli teologi
menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual, tetapi juga
dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada
permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan
sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami
dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan
undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru,
melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.
ان الاقتصاد الاسلامي جزء من نظام الاسلام الشامل اذا
كان الاقتصاد الوضعي -بسبب ظروف نشأته- قد انفصل تماما عن الدين فان أهم ما يميز
الاقتصاد الاسلامي هو ارتباطه التام بدين الاسلام عقيدة و شريعة
“Sesungguhnya
ekonomi Islam adalah bagian integral dari sistem Islam yang sempurna. Apabila
ekonomi konvensional –dengan sebab situasi kelahirannya- terpisah secara
sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting ekonomi Islam adalah keterkaitannya secara
sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu aqidah dan syariah”.[12]
ان شقى الشريعة الاسلامية و هما العبادات و المعاملات
يرتبطان ارتباطا عضويا و موضوعيا ببعضهما
البعض
“Sesungguhnya
dua sisi syariah Islam ialah ibadat dan muamalat. Keduanya terkait laksana satu
tubuh dan keduanya satu tujuan, (yaitu dalam rangka ibadah dan ketaatan kepada
Sang Khalik Allah Swt)”.[13]
حُكْـمُ
المَصْنـَعِ يَأخُـذُ حُكْمَ الماَدَةِ الَّتِيْ يَصْنَـعُهَا
“Hukum pabrik (kilang) mengikuti
hukum barang yang diproduksinya”
وبناء
على هذا فانه لا ينبغي لنا ان ندرس الاقتصاد الاسلامي مستقلا عن عقيدة الاسلام و
شريعته لأن النظام الاقتصادي الاسلامي جزء
من الشريعة ويرتبط كذالك بالعقيدة ارتباطا أساسيا
Berdasarkan
ini, maka tidak boleh kita mempelajari ekonomi Islam secara berdiri sendiri
yang terpisah dari aqidah Islam dan syariahnya, karena sistem ekonomi Islam
bagian dari syariah Islam. Dengan
demikian ia terkait secara mendasar dengan aqidah.[14]
واذا كان جزءا من الاسلام الشامل فانه لا يمكن فصله عن
بقية الانظمة الاسلامية من عقيدة وعبادة و أخلاق
Apabila
ekonomi Islam menjadi bagian dari Islam yang sempurna, maka tidak mungkin
memisahkannya dari sistem aturan Islam yang lain ; dari aqidah, ibadah dan
akhlak.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ekonomi Islam dapat didefinisikan
sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya
harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid
syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta). Pola berpikir ekonomi
konvensional yang tanpa nilai telah menyebabkan ilmu ekonomi ini menjadi
suatu ilmu yang digunakan untuk memenuhi tuntutan nafsu manusia semata tanpa
ada aturan yang jelas, serta melegalkan terjadinya eksploitasi dalam kegiatan
ekonomi yang terjadi. Kemudian tampillah beberapa mazhab ekonomi konvensional
baru untuk memasukkan aspek-aspek normatif, sosial, dan institusional prilaku
manusia dalam model-model ekonominya. Namun semua ini mengalami masalah karena
mereka sulit untuk menemukan standar nilai yang dapat disepakati secara luas
oleh seluruh kalangan.
Para ekonom muslim perlu
mengembangkan suatu ilmu yang khas yang berlandaskan atas nilai-nilai iman dan
Islam yang sejati. Rancang bangun ekonomi Islam terdiri atas dasar (yang
terdiri atas: tauhid, adil, nubuwwah, khilafah, dan ma’ad), tiang
(terdiri atas multitype ownership, freedom to act, dan social
justice), dan terakhir adalah atapnya yaitu akhlak.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid
dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah:
1. Pemenuhan
kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
2. Memastikan
kesetaraan kesempatan untuk semua orang
3. Mencegah
terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi
pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
4. Memastikan
kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral
5. Memastikan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
[1] Mashuri. Teori Ekonomi Islam. Yogyakarta. Kreasi Wacana. 2005.
Hal. 09-13.
[2] Juniar Endrawanto. Konsep Dasar Ekonomi Islam.
..........................
[3] Juniar Endrawanto. Konsep Dasar Ekonomi islam..................
[6] Al-jumanatul `ali. Al-quran dan terjemahannya. Bandung. CV.
Penerbit J-Art. 2005. Hal. 152.
[7] Ibid., hal. 395
[9] Al-jumanatul `ali. Al-quran dan terjemahannya. Bandung. CV.
Penerbit J-Art. 2005. Hal. 50
[10] Al-hafidz ibn hajar al-`asqalani.Bulughul Maram. Nurul Huda
Surabaya......... Hal.163
[11] Juniar Endrawanto. Konsep Dasar Ekonomi islam..................
[12] Ahmad Muhammad ‘Assal. Fathi Ahmad
Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17-18
[14] Ahmad Muhammad ‘Assal & Fathi
Ahmad Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar